Targetnya menghemat konsumsi minyak tanah yang subsidinya sangat mahal. Subsidi pemerintah setiap tahun untuk minyak tanah mencapai Rp 25 Triliun (US $ 3 Milyard). Pak Jusuf Kalla sendiri mengestimasi penghematannya sekitar Rp 30 Triliun. Sebuah nilai yang sangat fantastis bila digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan karena memproduksi minyak tanah saat ini sudah sama mahalnya dengan memproduksi Avtur (bahan bakar pesawat terbang).
Sehingga mengimport minyak tanah dan dibagikan secara murah merupakan sebuah pemborosan yang sangat luar biasa. Dari konsumen sendiri terjadi penghematan pengeluaran uang sebesar 32% setiap bulannya bila beralih ke LPG. Jadi secara umum, program ini sifatnya "win-win", bila terlaksana dengan sempurna. Namun berikut ini adalah tantangan program konversi minyak-tanah ke LPG ini bagi para insinyur Indonesia.
PENGALIHAN KELUARGA DARI MINYAK TANAH KE LPG PERLU KOMPOR DAN TABUNG LPG
Salah satu tantangan utamanya adalah membuat & membagikan secara gratis kompor dan tabung LPG kepada masyarakat agar mau berubah ke bahan bakar LPG.
Berikut ini beberapa informasi tentang target jumlah keluarga yang dikonversi, kesuksesan di Jakarta dan juga rencana pertamina membuat tabung LPG:
* Target konversi sampai dengan tahun 2010 adalah 42 juta keluarga (tahun 2007-3,5 juta, tahun 2008-12,5 juta, tahun 2009-13,2 juta dst). Berdasarkan target ini, maka setiap hari PT Pertamina harus membagikan 34.000 kompor dan tabung tanpa mengenal hari libur.
* Uji coba di sampai Maret 2008 di DKI telah mencapai 95% karena telah dibagikan paket kompor, tabung LPG 3kg, dan selang serta regulator, sebanyak 1.7 juta. Sehingga kebutuhan minyak tanah di DKI Jakarta sebelum program konversi sebesar 3.500 KL/hari sedangkan sejak diterapkannya program, hingga April 2008 turun menjadi 600 KL/hari, atau turun 2900 KL/hari.
* PT Pertamina memerlukan 30 juta tabung LPG 3 kg untuk beberapa tahun mendatang. Tugas ini diserahkan kepada PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, PT Barata Indonesia, dan PT Boma Bisma Indra. Jika tugas ini dilaksanakan dalam 2 tahun, maka setiap hari, keempat produsen ini harus mampu membuat 40.000 tabung per hari tanpa hari libur. Jika harga per tabung Rp. 120.000 maka nilai proyek ini sekitar Rp 3,6 Triliun (US $ 400 juta).
PRODUK LPG INDONESIA TIDAK CUKUP DAN PERLU MENGIMPORT - PERLUNYA TERMINAL LPG
Dari perhitungan PT Pertamina, setiap keluarga memerlukan 3 kg LPG setiap 8 hari. Jadi setahun memerlukan sekitar 140 kg untuk setiap keluarga. Jika di tahun 2008, ditargetkan 16 juta keluarga yang menggunakan LPG, maka diperlukan LPG sebesar 2,2 juta ton untuk tahun 2008 (16 juta keluarga x 140 kg per keluarga). Padahal produksi LPG Indonesia pada tahun 2007 baru sekitar 2,1 juta ton per tahun (lihat gambar). Jadi untuk mensukseskan program konversi minyak tanah ke LPG diperlukan LPG Terminal untuk mengimport LPG.
Berikut ini status infrastruktur terminal LPG storage & import terminal:
* PT Pertamina telah menunjuk 3(tiga) perusahaan untuk membangun 3(tiga) "LPG pressurized" storage & terminal di Semarang, Gresik & Banyuwangi masing-masing dengan kapasitas 10.000 ton. Namun penyelesaian proyek-proyek dengan "sistem sewa" ini ditargetkan selesai pada tahun. Jika masing-masing proyek sekitar US $ 30 juta, maka nilai peluangnya sekitar US $ 90 juta.
* PT Pertamina juga akan menyewa dari Itochu floating storage dengan kapasitas 40.000 ton
* Selain itu PT Pertamina akan mengajak SK Corp, BP, Conoco Phillips dan Petronas untuk membangun "refrigerated terminal" dengan kapasitas 160.000 ton di Jawa barat dan 120.000 ton di Jawa timur. Nilai proyek untuk 2 (dua) LPG Refrigerated terminal bisa mencapai US $ 300 juta
* Selain perlunya LPG terminal, PT Pertamina juga akan membuat 200 stasiun pengisian LPG di beberapa tempat di tanah air. Jika variasi harga per station antara US 0.5 juta s/d US $ 1 juta (tergantung capacity), maka peluang proyek ini bisa mencapai US $ 150 juta.
Demikianlah rangkuman informasi dan juga berbagai peluang bagi para insinyur Indonesia.