Mungkinkah Indonesia meninggalkan pola "Production sharing" (KPS) ?

Dalam beberapa bulan terakhir ini saya kebetulan mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa negara karena sedang mengerjakan beberapa proyek disana dan juga mengejar proyek-proyek baru di luar negeri. Saya sempat ke Brunei, karena kami sedang mengerjakan proyek Methanol milik pemerintah Brunei disana. Dari Brunei saya menyeberang ke Serawak untuk melihat pengerjaan team kami di proyek Crude oil terminal milik Petronas di Miri . Kami juga sedang mengejar Proyek Gas terminal di Sabah (salah satu negara bagian Malaysia di Serawak). Foto terlampir adalah ilustrasi team proyek kami yang berada di Miri, Serawak. Selain ke negara-negara tersebut, saya juga sempat bolak-balik ke Iran dan juga ke China untuk mengerjakan proyek dan juga mengejar peluang dengan berbagai mitra di negara-negara tersebut.

Dari perjalanan-perjalanan tersebut, ada suatu fakta yang agak “mengganggu” pemikiran saya. Berikut ini fakta tersebut :

  • Brunei yang menerapkan pola “production sharing” (KPS) dengan perusahaan Shell Inggris, terlihat rakyatnya tidak terlalu modern (kurang maju)

  • Malaysia tidak memberikan kesempatan kepada satupun pihak asing untuk menguasai konsesi kekayaan alam mereka (terutama di Serawak). Mereka tidak menerapkan pola “production sharing” di Serawak. Petronas menguasai seluruh konsesi minyak dan gas di Serawak. Tidak ada satupun negara asing yang boleh memiliki konsesi minyak ataupun gas di Serawak (juga lahan kelapa sawit).

  • Iran mengembangkan industri energy (petrokimia), dan industri upstreamnya secara mandiri. Mereka mengembangkan industri kilang gas alam, kilang minyak, kimia dan petrokimia sepanjang ratusan kilometer dengan pemilik konsesi sumber daya alamnya adalah perusahaan BUMN Iran (tidak ada pihak asing).

  • Seluruh konsesi batu bara di China dimiliki oleh perusahaan-perusahaan propinsi (BUMD) dan juga BUMN di China. Tidak ada satupun pihak asing yang menguasai konsesi batubara tersebut. China juga tidak memperkenankan satupun perusahaan asing untuk melakukan “production sharing”.
Salah satu kesedihan saya akhir-akhir ini adalah membaca Peraturan Pemerintah no:57 tahun 2007 tentang Panas bumi. Aturan dan tata caranya sama persis dengan tata cara kepemilikan konsesi batu bara. Jadi mungkin tidak terlalu lama lagi, maka konsesi panas bumi akan dimiliki oleh pihak asing & dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk keuntungan pihak asing. Padahal Pasal 33 ayat 3 tidak pernah berubah bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Saya saat ini mulai memikirkan apakah pola “production sharing” (KPS) dengan pihak asing di industri minyak, gas dan tambang sebaiknya mulai ditinggalkan oleh Indonesia ?. Pola KPS ini memang diperlukan oleh Indonesia disaat kita belum menguasai teknologinya dan juga tidak memiliki dana untuk explorasi maupun exploitasinya. Namun dengan semakin majunya kemampuan teknolog Indonesia dan juga tersedianya dana di pemerintahan baik berupa APBN dan APBD, seharusnya biaya explorasi dapat dibiayai oleh Pemda ataupun Pemerintah pusat. Sehingga APBN, APBD & PAD (pendapatan asli daerah) tidak hanya disimpan di SBI atau digunakan untuk proyek-proyek yang return-nya tidak jelas.

Sumber: http://triharyo.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=60
Category: 0 komentar

Leave a comment

http://s301.photobucket.com/albums/nn56/ia_90/Game/?action=view&current=crashcoveCTRMap.jpg