RI ingin Shell masuk Refinery

DENHAAG, Belanda: Indonesia ingin Shell tidak hanya bertindak selaku participating interest dalam pengelolaan blok migas Natuna D-Alpha, tetapi juga masuk bisnis pengolahan dengan memindahkan fasilitas refinery-nya dari Singapura ke Batam.

Wapres Jusuf Kalla mengatakan Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende menyampaikan concern dan mendukung Royal Dutch Shell Plc, perusahaan Belanda, dalam keterlibatan terhadap proyek gas di Natuna itu.


“[PM mengatakan] Shell punya keahlian. Oke, saya bilang Pertamina sendiri sudah melakukan pertemuan-pertemuan, dan [PM mengatakan] mereka siap,” ujar Kalla Sabtu.

Wapres mengungkapkan hal itu selepas pertemuan dengan Balkenende di Catshuis, kediaman resmi perdana menteri Belanda.

Selain bertemu dengan PM Belanda, Kalla juga menghadiri jamuan makan malam dengan Menteri Ekonomi Maria van Hoeven dan sejumlah CEO perusahaan Belanda.

Blok Natuna D-Alpha, yang semula kontraknya dipegang oleh ExxonMobil Corp., kaya cadangan gas, yang diperkirakan memiliki kandungan hingga 46 triliun kaki kubik. Kandungan gas ini merupakan yang terbesar di kawasan Asia saat ini.

Menurut Kalla, saat ini-selain ExxonMobil-Shell dan dua perusahaan minyak lainnya masuk daftar pendek yang mungkin akan dipilih mendampingi Pertamina dalam pengelolaan blok itu.

Pemerintah, menurut Kalla, minta agar pengelolaan Natuna dilakukan secara terpadu, mulai dari proses eksplorasi di hulu, pengolahan (refinery), dan distribusi. Indonesia berkeinginan agar pengelolaan Natuna berbeda, sehingga Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia. “Pertamina harus [dengan share] paling besar.”

Permintaan Wapres itu mendapat respons positif dari CEO Royal Dutch Shell Van der Ver. “Kami siap masuk ke refinery itu.”

Kalla menambahkan Shell akan mempelajari undangan Indonesia untuk masuk ke bisnis kilang migas. “Perusahaan itu sudah memiliki pengalaman di hilir, distribusi BBM,” katanya setelah mengunjungi pelabuhan Rotterdam, kemarin.

Pertamina baru-baru ini ditetapkan sebagai pengendali atau kontraktor tunggal blok itu setelah perusahaan Amerika Serikat, ExxonMobil Corp., gagal melaksanakan kontrak sebelumnya.

BUMN itu dapat menandatangani kontrak Natuna dengan pemerintah dan setelah itu memilih mitra yang sesuai. Selain Shell, sejumlah perusahaan multinasional berminat menjadi mitra Pertamina, antara lain StatOil, PetroChina, dan Exxon selaku pemegang kontrak lama.

Terobosan & nilai tambah

Kepala BKPM M. Lutfi, yang mendampingi Wapres dalam pertemuan dengan PM Balkenende, menyampaikan keinginan Jakarta agar Shell memberikan nilai tambah dan terobosan baru di Natuna.

“Kalau cuma partisipasi [di Natuna], tidak ada sesuatu yang baru [bagi Shell] dibandingkan dengan Exxon, dan perusahaan yang masuk shortlisted lainnya.”

Lutfi, atas izin Wapres, mengatakan kepada PM bahwa bagi Indonesia akan lebih menarik jika Shell mau memindahkan fasilitas refinery minyaknya di Singapura ke Indonesia, sebagai bagian dari kemitraan tersebut.

“Saya kemukakan bahwa kita punya kawasan ekonomi khusus, dan jaraknya hanya 20 kilometer dari Singapura,” katanya merujuk Batam.

PM Balkenende, menurut Lutfi, berjanji akan menyampaikan permintaan Indonesia itu kepada Shell. “Ini bagian dari komitmen kita, menjual tidak hanya barang [minyak] mentah, tetapi juga setengah jadi. Kalau Shell mau, ini terobosan baru,” tutur Lutfi.

Dia memberikan ilustrasi, untuk fasilitas refinery yang dapat menghasilkan minyak olahan sekitar 330 juta barel per hari saja, akan menciptakan sekitar 930.000 lapangan kerja, dengan investasi sekitar US$5 miliar.

Pengelolaan proyek Natuna D-Alpha diperkirakan menelan biaya US$30 miliar, karena membutuhkan teknologi canggih. Pertamina memerlukan mitra yang menguasai teknologi pemisahan CO2 dari gas di Natuna D-Alpha, yang mengandung kadar karbon dioksida hingga 70%.

Kalla melanjutkan pemerintah tidak ingin sumber daya alam Indonesia hanya berada dalam satu keranjang. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya tidak hanya bermitra dengan mitra tertentu supaya dapat memperoleh manfaat lebih besar dan punya perbandingan dalam hal teknologi.

Oleh karena itu, katanya, Indonesia menginginkan pengelolaan Natuna D-Alpha bisa menggandeng mitra dari Eropa.

Menurut Ketua Kadin Indonesia Komite Amerika Serikat Sofjan Wanandi, saat bertemu Wapres di Washington pada 5 Februari lalu, eksekutif Exxon sama sekali tidak menyinggung soal Natuna D-Alpha.

Bagi Exxon, kontraknya di Blok Natuna D-Alpha sebenarnya masih menyisakan persoalan karena perpanjangan kontrak baru berakhir 2009.

Pemerintah sendiri berkukuh tidak pernah memberikan perpanjangan kontrak terhadap perusahaan migas asal AS itu setelah berakhir pada 2005.

Ketika itu, kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro dalam berbagai kesempatan, bahkan telah memberikan kesempatan kepada Exxon mengembangkan blok itu.

Sofjan menjelaskan Exxon ingin meningkatkan kapasitas produksi di Blok Cepu menjadi 30.000 barel per hari dari 10.000 barel per hari. “Exxon minta izin meningkatkan kapasitas storage pada off shore di Cepu [Banyu Urip],” ujarnya. (arief.budisusilo@ bisnis.co.id)

Sumber: http://nugrohoadi.wordpress.com/author/nugrohoadi/

Category: 0 komentar

Leave a comment

http://s301.photobucket.com/albums/nn56/ia_90/Game/?action=view&current=crashcoveCTRMap.jpg